Generasi Home Service VS Adversity Quotient

“Duaaaarr!”, suara pintu dibanting. Rupanya dari kamar Tira , keponakanku yang berusia 13 tahun. Aku pun beranjak dari keasikan bersama pekerjaan analisaku...

Ranny Rifqianie

2/27/20256 min read

“Duaaaarr!”, suara pintu dibanting. Rupanya dari kamar Tira , keponakanku yang berusia 13 tahun. Aku pun beranjak dari keasikan bersama pekerjaan analisaku. Melangkah perlahan mendekati kamar Tira. Kuketuk pintu kamar seraya memanggilnya. Alhamdulillah pintu ia buka, meski aku disambut dengan wajah sedikit masam. Hhmm, yaa.. setelah beberapa pekan disini, aku sangat memahami karakternya.

Tira sesungguhnya gadis kecil yang ceria, cepat bergaul dan mudah diarahkan jika kita tahu kunci hatinya. Tapi jangan ditanya kalau mood jeleknya datang, bisa-bisa rencana jadi berantakan. Aku coba perhatikan apa yang ia kerjakan. Rupanya ia sedang menyelesaikan tugas membuat presentasi dengan power point.

Rasa penasaran dengan sikap Tira, aku pun mencoba untuk tahu lebih jauh. Sambil bergurau kami bercerita tentang hobi kerennya. Membuat berbagai macam desain dan kreatifitas menulis dengan aplilasi Canva. Wow, ternyata hobi kami sama. Tak terasa jam makan malam hampir usai. Kami pun buru-buru ke meja makan dan menyantap hidangan yang dibuat bunda Tira dengan lahapnya.

Selesai membereskan meja makan dan mencuci piring, kami melanjutkan obrolan di kamar Tira lagi. Saat itulah ia akhirnya menceritakan kekesalannya tadi. Benang merahnya adalah kekurangkompakan dalam berkomunikasi menyampaikan pesan antara orang tua dan anak.

Tidak ada salah dan benar dalam hal ini, insya Allah akan bermuara pada kebaikan. Hanya prosesnya berbeda-beda. Aku sangat faham, kakak sepupuku adalah seorang wanita yang tegas dan mandiri. Ia pasti menginginkan anak tunggalnya bisa lebih mengatur dirinya sendiri. Menjadi anak yang mandiri dan bertanggung jawab dengan segala aktivitasnya. Tira pun sebenarnya adalah anak yang baik, ceria dan menyenangkan. Tipe anak yang mandiri dan bertanggung jawab. Tapi memang ia cenderung lebih santai ketimbang bundanya. Karakter moody nya juga yang membuat bundanya kadang merasa geregetan.

Nah, inilah masalah yang kerapkali kita jumpai dalam komunikasi orang tua dan anak. Bagaimana bisa menciptakan suasana komunikasi yang nyaman antara keduanya. Terlebih kita sebagai orang tua dalam peran membimbing dan melatih anak agar menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab.

Banyak kita jumpai orang tua yang merasa benar dan menang sendiri. Apapun yang diucapkan harus diikuti oleh anak-anaknya, tanpa boleh berpendapat. Komunikasi hanya satu arah. Sedangkan anak-anak dengan jiwa kritis yang mereka miliki dipandang suka membantah oleh orang tuanya. Jika hal ini diteruskan dan tidak disadarkan, maka tradisi yang otoriter akan terus berlanjut. Efek-efek negative dari sikap orang tua kelak akan menimbulkan ketidakharmonisan dalam ikatan batin orang tua dan anak.

Ada pula yang sebaliknya, anak benar-benar menjadi raja dalam keluarga. Semua kebutuhan sudah ada yang menyiapkan. Anak tidak dikenalkan dengan rasa kecewa, sakit hati, sedih, proses berjuang dan sejenisnya. “Anak Sultan” istilah jaman now. Ia hanya mengenal rasa senang, nyaman dan sangat nyaman. Segala yang ia minta dituruti oleh orang tua. Inilah awal dari petaka dalam keluarga. Orang tua ditundukkan oleh anak. Terkadang anak justru lebih galak daripada orang tuanya. Tapi benarkah anak yang disalahkan? Coba kita renungkan, bagaimana awal dari sifat “Anak Sultan” tersebut. Apakah orang tua tak punya andil dalam pembentukan karakter anaknya?

Sulit memang untuk tidak mengintervensi, ketika melihat anak sendiri susah, sakit dan sedih. Apalagi menjadi orangtua, insting pertama adalah melindungi. Tapi kita pun harus melihat efek negatifnya jika kita selalu memudahkan dan selalu memberikan kenyamanan bagi anak.

Anak-anak yang selalu ingin dilayani oleh orang tua atau orang lain yang ada dirumahnya disebut dengan generasi Home Service.

Senior Psikolog sekaligus konsultan, Bunda Elly Risman, menilai ada kesalahan pola asuh yang diterapkan orangtua kepada si anak. Sehingga ketika dewasa ketahanan diri mereka tidak terbentuk. Kemudian mereka tumbuh menjadi pribadi yang ringkih dan mudah depresi.

Beliau juga menyatakan bahwa, jika para orang tua menghabiskan banyak waktu, perhatian, dan uang untuk IQ ( Intelligence Quotient) -nya, maka habiskan pula hal yang sama untuk AQ-nya. Apa itu AQ? AQ adalah Adversity Quotient.

Menurut Paul G. Stoltz, pencetus masalah AQ menyatakan dalam bukunya yang berjudul “Advesity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities, bahwa Adversity Quotient merupakan kecerdasan menghadapi kesulitan atau hambatan dan kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami.

Kita sebagai seorang muslim pastinya juga punya dasar teori yang sangat shahih tentang ketangguhan diri.

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِل اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah subhanahu wa ta’ala daripada mukmin yang lemah.” ( HR. Muslim )

Maknanya adalah mukmin yang kuat imannya, tubuhnya, dan amalnya lebih baik daripada mukmin yang lemah imannya atau lemah dalam hal amalan dan tubuhnya. Sebab, mukmin yang kuat dapat melakukan sesuatu untuk kaum muslimin. Dia dapat memberikan manfaat kepada kaum muslimin dengan kekuatan tubuh, iman, dan amalnya.

Kita yang memiliki kekuatan dan ketangguhan akan memberikan manfaat besar dalam jihad fi sabilillah, merealisasikan kemaslahatan kaum muslimin, membela Islam dan kaum muslimin, serta merendahkan musuh Islam dan berdiri menghadapi musuh tersebut. Semua ini tidak mampu dilakukan oleh mukmin lemah.

Dari sisi ini, mukmin yang kuat lebih baik daripada mukmin lemah. Hanya saja (sebagaimana lanjutan hadits tersebut),

وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ

“… Masing-masing ada kebaikannya.” ( HR. Muslim )

sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Sebab, keimanan itu seluruhnya baik. Mukmin yang lemah padanya ada kebaikan. Akan tetapi, mukmin kuat lebih banyak kebaikannya daripada mukmin yang lemah, baik untuk diri sendiri, agama, maupun saudara kaum muslimin.

ٱلۡأَعۡلَوۡنَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ١٣٩

“Padahal kalian-lah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kalian orang-orang yang beriman.” (Ali ‘Imran: 139)

Dengan demikian, kekuatan adalah sesuatu yang dituntut dan dicari dalam Islam. Kekuatan dalam keimanan dan akidah/keyakinan, kekuatan dalam beramal/berbuat, dan kekuatan tubuh. Sebab, hal tersebut menghasilkan kebaikan bagi kaum muslimin.”

Kembali kepada tantangan bagi kita sebagai orang tua untuk membimbimbing anak-anak menjadi generasi yang kuat, tangguh, mandiri dan bertanggung jawab. Pastilah prosesnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu proses yang panjang dan bertahap dengan kesabaran ekstra. Terkadang justru dari orang tua yang ingin serba instan yang melahirkan generasi yang cepat lelah, kurang sabar, daya juang lemah hingga memiliki kebiasaan lari dari tanggung jawab. Efek energi kita sudah pasti mengalir pada anak-anak.

Riset ilmiah menunjukkan bahwa membersihkan rumah, membuang sampah (keluar rumah untuk diambil tukang sampah), melap jendela, dan lain-lain bisa melenyapkan sifat-sifat buruk dan menumbuhkan keterampilan, kepercayaan diri, rasa tanggung jawab, empati, dan sikap respek (menghargai orang lain). Semakin dini Anda memulai bagi anak Anda, semakin bagus hasilnya.

Ada beberapa tahap riset yang pernah dilakukan, yaitu dengan mengamati 84 orang anak pada usia pra-sekolah mereka. Kemudian pengamatan dilanjutkan sewaktu mereka berusia 10 tahun, 15 tahun, dan pertengahan 20 tahun. Hasilnya menunjukkan, anak yang mulai dibiasakan mengerjakan pekerjaan rumah pada usia 3 tahun dan 4 tahun cenderung memiliki hubungan sosial yang lebih baik, sukses di bidang akademik, dan mampu mengurus dirinya sendiri dibandingkan anak yang baru dibiasakan melakukan pekerjaan rumah tangga pada masa remaja atau bahkan tak pernah dibiasakan sama sekali.

Menurut Richard Rence – seorang psikolog-perkembangan di Paradise Valley, Ariz, dan juga penulis untuk sebuah buku yang berjudul Can-Do Kids – membiasakan anak mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebenarnya bisa menjadi strategi yang lebih baik untuk membina kemampuan interaksi sosial yang positif secara jangka panjang serta kemampuan akademik yang baik, dibandingkan mengikutkan anak dalam kegiatan ekstra-kurikuler di sekolah, yang akan membuat mereka tak lagi punya waktu untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga.

Iapun menambahkan bahwa, jaman sekarang orang tua berharap anaknya sibuk dengan kegiatan yang bisa mengantarkannya menuju kesuksesan, tapi ironisnya, kita justru tidak mengajarkan sesuatu yang sudah terbukti menjadi kunci kesuksesan. Yaitu, pekerjaan rumah tangga.

Nah, bagaimana langkah kita agar bisa menumbuhkan generasi yang tangguh, mandiri dan bertanggung jawab ?

1. Buatlah jadwal harian untuk anak-anak.

Libatkan mereka dalam menyusunnya. Diskusikan bersama, agar masing-masing nantinya merasa bertanggung jawab dengan apa yang telah diputuskan bersama. Berikan beberapa pilihan pekerjaan rumah sesuai dengan tahapan usianya untuk dipilih anak-anak.

2. Biarkan mereka melalui berbagai macam tantangan.

Perasaan mampu melewati ujian itu luar biasa nikmatnya. Bisa menyelesaikan masalah, mulai dari hal yang sederhana sampai yang sulit, membuat diri semakin percaya bahwa meminta tolong hanya dilakukan ketika kita benar-benar tidak sanggup lagi.

Karena anak-anak harus bisa menamai berbagai macam perasaan sejak kecil. Izinkanlah anak-anak melewati kesulitan hidup. Tidak masalah anak mengalami sedikit luka, sedikit menangis, sedikit kecewa, sedikit terlambat, dan sedikit kehujanan.

3. Penuhi tangki cinta anak.

Anak sangat membutuhkan sentuhan cinta, tatap mata yang tulus dan komunikasi yang hangat dari orang tua.

Karena hal tersebut adalah energi positif dan modal utama yang dapat menumbuhkan rasa pencaya diri, kemandirian dan ketangguhan anak dalam menghadapi kehidupannya kelak.

So, jangan melewatkan hari-hari tanpa ada cerita dari mereka.

4. Tahan diri untuk cepat membantu.

Tahan lidah, tangan dan hati dari memberikan bantuan. Ajari mereka menangani frustrasi. Kalau kita selalu jadi ibu peri atau guardian angel, apa yang terjadi jika kita tidak bernafas lagi esok hari? Bisa-bisa anak kita ikut mati karena tak bisa menahan kesulitan hidup.

5. Tumbuhkan Spiritul Quotient (SQ) pada anak.

Tanamkan ilmu agama dan akidah yang kuat pada mereka. Berikan pemahaman bahwa jangan pernah takut pada kehidupan, selama kita berpegang teguh dan berserah pada Allah. Jika ingin sukses melewati tahapan kehidupan, maka dekatilah Sang Pemilik Kehidupan.

6. Mohon pada Allah untuk selalu menemani kita.

Sehebat-hebatnya diri kita, tak akan pernah sempurna tanpa kehadiran Allah dalam hati kita. Karena segala masalah yang kita hadapi akan terasa tenang, mudah dan ringan bila Allah selalu membersamai diri kita. Terlebih lagi dalam membimbing generani Rabbani kita.

Kita harus sadari bahwa hidup itu tidak mudah, masalah akan selalu ada, dan anak harus bisa bertahan. Melewati hujan, badai, dan kesulitan yang kadang tidak bisa dihindari. Jadi untuk melatih melatih AQ ini adalah ujian kita sendiri juga sebagai orangtua, karena harus dimulai dari kesadaran orang tua. Yakinlah Allah selalu bersama kita.

Yuk, sama-sama berjuang untuk mencetak generasi muslim dengan pribadi yang bertaqwa, tangguh, mandiri dan mulia. J

Note :

  1. Diterjemahkan secara bebas dari https://www.fatherly.com/research-shows-household-chores-are-a-proven-predictor-of-success-1073236718.html?xrs=RebelMouse_fb

  2. https://ummiummi.com/ingin-anak-tangguh-dan-mandiri-biasakan-mereka-menyapu-rumah

  3. https://asysyariah.com/makna-hadits-mukmin-yang-kuat

*Tulisan ini dibukukan dalam Antologi Parenting 3 bersama RAI (Rumah Antologi Indonesia) bersama Komunitas Menulis Wanita D’Asa Preuneur. Semoga bermanfaat. J